Sabar Subardi terlahir tanpa kedua tangan. Tapi jangan remehkan lelaki kelahiran Salatiga tahun 1979 ini. Sederet prestasi ditorehkan suami Runisa ini di bidang seni lukis.
Sabar adalah satu di antara sembilan anggota Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMPFA) asal Indonesia, organisasi pelukis yang menggunakan kaki dan mulut. Perjuangannya untuk menjadi anggota AMPFA, dimulai sejak kelas 3 SD.
Sabar mengaku tak minder saat menekuni seni lukis. Keterbatasan fisiknya justru membuat dirinya termotivasi untuk bersaing ketat dengan orang-orang normal pada umumnya. "Saya memulai semuanya sejak duduk taman kanak-kanak pada 1985. Ketika bapak saya jadi penjaga sekolah, saya sering menggambar menggunakan kapur yang berceceran di lantai. Lama-kelamaan bapak menganggap itu sebuah bakat. Kemudian saya ditempa demi masa depan yang jelas lewat bakat saya tersebut," ungkapnya, Sabtu (21/4).
Setelahnya, Sabar berulang ikut lomba lukis. Karena kemampuannya menggambar menggunakan kaki dianggap unik, keberadaannya mencuri perhatian publik saat ikut lomba tingkat kota maupun provinsi.
Menapaki usia 8 tahun, bakatnya melukis menggunakan kaki semakin terasah. Saat kelas IV SD, ia dilirik Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) yang selama ini giat mengasah bakat-bakat para difabel di bidang melukis.
"Ternyata bapak saya ngasih izin begitu aja. Harapan orangtua ya biar mapan dan punya pekerjaan tetap," terang pria 39 tahun itu, seraya menambahkan bila ia lalu ikut pameran lukisan AMFPA di Taiwan.
Daya tariknya sebagai pelukis kaki bahkan membuat mendiang Ibu Negara Indonesia, Tien Soeharto, kepincut. Sabar dan rekan-rekannya bertandang ke Cendana Jakarta untuk meminta restu kepada Tien Soeharto.
"Setiap anak diminta buat satu karya. Saya ngasih lukisan pemandangan alam dan Bu Tien memberi kado coretan gambar pepohonan," katanya.
Sabar mengaku masa terberatnya saat bersekolah. Dia berulangkali ditolak karena kondisi tubuhnya dianggap akan merepotkan. Dari total lima sekolah yang disambangi, semuanya kompak menolaknya.
"Saya didaftarkan sekolah umum tapi semuanya menolak. Sempat disarankan ke SLB, tapi karena banyak anak tuna grahita dan takut kalau mental saya terhambat, jadinya ibu saya ngotot masuk ke sekolah umum. Satu-satunya SD yang mau menerima saya hanya SD Kalicacing 2," ucapnya.
"Lalu saya berlanjut ke SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 3 sampai kuliah di Stiba Setya Wacana. Itu perjuangan terberat menempuh pendidikan yang layak," sambungnya.
Ia menyatakan jerih payahnya melukis baru bisa membuahkan hasil saat kelas V SD. Arswendo Atmowiloto yang saat masih jadi wartawan juga membeli lukisannya seharga Rp 150 ribu tahun 1990.
Saat ini, selain sibuk melukis untuk AMPFA, yang setahunya harus menyetor 15-20 lukisan, Sabar juga menulis buku dan mendongeng. Anggota AMPFA di Indonesia berasal dari Jakarta, Bandung, Medan, Madiun, Gresik, Bali dan Salatiga. Delapan merupakan pelukis kaki dan seorang pelukis mulut. Dia juga mengelola Galeri Sabar Subardi, yang menjadi tempatnya berpameran sekaligus mengasah kemampuan pelukis muda Salatiga.
Dia mengaku tak ada kesulitan berarti selama melukis. Kendala terbesarnya, jika harus melukis di kanvas berukuran besar. "Kaki saya tidak bisa menjangkau. Selama ini, yang paling besar hanya berukuran 170 centi," ucapnya.
Artikel Asli
0 Response to "Sabar Subardi, Pelukis Tanpa Tangan yang Mendunia"
Posting Komentar